Thursday 11 August 2011

Sayyida Nafisa-nama yang aku baru tahu


Sejarah Islam hanya mencatat sedikit saja nama ulama perempuan. Kita lebih mengenal nama ulama lelaki daripada perempuan. Malah, kita juga lebih mengenal Syafii, Hanafi, Hanbali, Maliki, dan banyak lagi. Tapi tak pernah mendengar dari siapa mereka belajar.
Populariti ulama perempuan tenggelam di sebalik karisma mereka yang belajar darinya. Walhal tak ada hilir jika tak ada hulu. Tak kenal maka tak sayang. Kita memang tak tahu mereka. Jadi, bagaimana kita menyayanginya?
Ada satu nama, Sayyida Nafisa namanya. Darinya Syafii memperoleh pengajaran ilmu fiqh, Quran dan hadis. Pendiri salah satu dari empat mazhab. Ia menyusul cucu Imam Hasan Ali Abi Thalib, lima tahun setelah perempuan itu berada di Kaherah, Mesir. Tapi nama Sayyida Nafisa seolah tak dikenal umat Islam. Mereka hanya tahu Syafii, pendiri mazhab Syafii.
Sayyida Nafisa lahir di Madinah pada tahun 145 Hijriah. Ia keturunan langsung Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau Imam Hasan. Putera pasangan Imam Ali dan Sayyida Fatimah itu memiliki seorang anak bernama Zaid, dan selanjutnya Zaid mempunyai anak bernama Hasan al-Anwar, ayah Nafisa. Jadi, Hasan al-Anwar adalah cucu Imam Hasan.
Kerana itu, wajar jika Sayyida Nafisa juga mewarisi kecerdasan sekaligus kefasihan berbicara. Dari keluarganya, ia memperoleh pengetahuan tentang Islam. Pendeknya jalur kekeluargaan serta kehidupan keseharian yang ia jalankan membuat wawasannya tentang al-Ouran dan hadis Nabi sangat luas.
Nafisa kecil selalu dibawa ayahnya ke Masjid Nabawi untuk shalat dan bermunajat. Hasan Al-Anwar yang sempat menjadi gabenor Madinah biasa berlama-lama di makam datuknya Muhammad SAW. Nafisa kecil mendampingi tiap kali ayahnya ke Al Haram. Kala itu usianya masih kecil. Ia masih dituntun menuju makam Rasul sampai usianya enam tahun.
Hasan Al-Anwar kerap memperkenalkan anaknya pada Rasulullah. ”Ya Rasulullah, ini aku datang bersama puteriku Nafisa.” Kunjungan itu ia lakukan terus sampai satu kali ia bermimpi berjumpa datuknya yang mengatakan senang berjumpa Nafisa. Rasulullah dalam mimpi Hasan mengaku senang pada Nafisa kerana Allah juga menyukainya.
Kebiasaan semasa kecil terbawa terus. Nafisa menjadi perempuan yang rajin belajar dan terus-menerus beribadah di masjid. Kerana itu tak hairan jika sejak kecil ia telah menghafaz Al-Quran dan mengerti hukum Islam sejak belia lagi. Melanjutkan tradisi keluarga Rasul, ia juga terbiasa bermunajat di makam Rasul.
Kefasihan bicara, penguasaan ilmu yang baik serta kekhusyukannya beribadah menjadikan Nafisa rujukan penduduk Madinah yang hendak bertanya. Perempuan yang sangat zuhud dan alim ini segera disukai penduduk Madinah.
Ia kemudian punya beberapa gelar antara lain Nafisat Al Ilm wal Ma’rifat, Nafisat Tahira (wanita suci), Nafisat Al Abida (Nafisa ahli ibadah), Nafisat Al Darayn, Sayyidat Ahlul Fatwa, Sayyidat Al Karamat dan Umm Al Awaajiz. Kesemuanya itu merujuk pada kehidupan dan keulamaannya.
Diusia 16 tahun, Nafisa menikah. Ia disunting Ishaq Mu’taman, keturunan langsung Imam Husain, saudara Imam Hasan putra Imam Ali dan Sayyida Fatimah. Dari pernikahan ini, Nafisa memiliki dua anak Al Qasim dan Ummu Kaltsum.
Menikah, tak menjadikan perempuan ini menarik diri dari kegiatan belajar dan mengajar. Kerana memang itu pesan yang disampaikan datuknya Muhammad SAW. Ia juga berangkat ke Makkah untuk ibadah haji. Dan ia memilih jalan kaki sementara yang lain berkendaraan unta. ”Aku malu pada datukku Muhammad bila pergi ke Makkah berkendaraan.” Begitu dia memberi alasan.
Saat berusia 44 tahun, Sayyida Nafisa hijrah ke Mesir. Tak ada penjelasan mengapa ia pindah ke negeri di seberang benua itu. Namun sebelum ia tiba, simpati masyarakat telah diperolehnya. Masyarakat Mesir sangat menghormati ulama perempuan keturunan Rasulullah SAW. Saat datang, Sayyida Nafisa disambut bak puteri. Ia diarak dengan lagu-lagu shalawat.
Putri Hasan Al-Anwar ini lantas tinggal di kediaman Jamaluddin Abdullah Al Jassas, rakannya yang orang Mesir. Tiap saat rumah ini selalu dikerumuni orang. Mereka datang untuk belajar, meminta doa, bertabarruk, atau ikut beribadah.
Merasa tak enak hati dengan pemilik rumah, Sayyida Nafisa pindah ke rumah temannya Ummu Hani yang sekarang berada di daerah al Hasaniyya. Namun kepindahan tak membawa perubahan. Umat Islam Mesir dari berbagai pelosok masih mengunjunginya.
Pada akhirnya, Sayyida Nafisa merasa terganggu kekhusyukan dalam berdoa. Rumahnya selalu ramai. Sementara tak mungkin menolak permintaan masyarakat yang datang meminta doa, ia merasa kehilangan waktu untuk berdua saja dengan Sang Pencipta, atau saat ia hendak berbicara dengan datuknya Rasulullah SAWW.
Perempuan ini menyerah. Ia memutuskan untuk kembali ke Madinah Al Munawwarah. Namun, keputusannya mengecewakan rakyat Mesir. Melalui gabenor Mesir, mereka memohon salah satu keturunan Nabi itu tak meninggalkannya. Umat Islam Mesir memerlukan bimbingannya. Mereka merasa kehadiran Sayyida Nafisa membawa berkah.
Lagi-lagi ia tak dapat mengelak. Sayyida Nafisa mengalah. Ia tak mungkin meninggalkan masyarakat yang begitu mencintainya. Ia memutuskan untuk tinggal. Tentu masyarakat Mesir bersukaria
Sebagai rasa terima kasih, gabenor Mesir kala itu Sirri bin Hakam menghadiahkan sebuah rumah di tempat lain. Rumah itu berada di lahan yang lebih besar. Dengan begitu kerumunan dapat ditampung. Ia juga boleh mengatur waktu untuk bermunajat, mengajar dan menerima kunjungan. Pada akhirnya ia menerima masyarakat pada hari tertentu. Selebihnya adalah waktu peribadi untuk ibadah dan mengajar.
Di rumah baru itu kemudian Sayyida Nafisa menerima murid. Ia khusus mengajar hukum Islam, Al-Quran dan hadis. Salah satu muridnya yang kemudian sangat terkenal adalah Syafii. Syafii datang lima tahun setelah Nafisa tiba di Kaherah. Murid lain yang juga menjadi besar adalah Utsman bin Said Al Misri, Dzun Nun Al Misri, dan Masri Al Samarkandi.
Syafii dan Sayyida Nafisa lantas berkerjasama. Mereka mengelola majlis pembelajaran itu bersama. Di tempat Sayyida Nafisa, Syafii boleh tinggal enam jam dalam sehari. Ia mengajar ilmu kalam, figh dan tafsir.
Syafii juga memimpin shalat di markas Sayyida Nafisa. Gurunya itu akan menjadi makmum dan berdiri di belakang. Sampai saat sakitnya, Syafii masih berkunjung ke rumah Sayyida Nafisa. Ia meminta doa. Dan saat tak mampu lagi berjalan, ia mengirim muridnya untuk duduk di majlis yang dipimpin Sayyida Nafisa.
Si murid lantas menyampaikan salam Syafii. ”Saudara sepupumu ini tengah terbaring sakit. Doakan aku agar segera sembuh.” Begitu pesan yang dititipkan Syafii buat guru Sayyida Nafisa. Sampai satu saat, Sayyida Nafisa mengatakan kepada orang yang dipesan kata-kata ‘Mudah-mudahan Allah akan bertemu dengannya. Sebuah pertemuan yang teramat baik.’
Pesan tersebut dimaknai Syafii sebagai pertanda bahawa saat kematiannya telah dekat. Ia lantas mengirimkan lagi utusan yang menyampaikan permohonan terakhir agar Sayyida Nafisa berkenan mensolatkan jenazahnya setelah ia meninggal.
Sayyida Nafisa mensolatkan Syafii di rumahnya, tempat mereka biasa mengaji bersama. Jenazah Syafii dibawa ke rumah Sayyida Nafisa untuk disolatkan.
Ulama yang satu ini hidup sebagai seorang sufi. Diriwayatkan ia hanya makan sekali tiap tiga hari. Ia bahkan menyalurkan lagi hadiah yang diberikan gabenor Mesir berupa wang kepada orang miskin di sekitarnya. Apapun yang dihadiahkan kepadanya akan ia sebar lagi kepada mereka yang memerlukannya. Ia lebih rela memilih hidup miskin meski mampu untuk hidup mewah.

No comments:

Post a Comment